Senin, 25 Oktober 2010

Renungan seorang Eja kecil


Ketika senja mengetuk pintu hati, aku tersandar pada bongkahan dinding yang hampir runtuh. Mencoba menyadarkan diri akan apa yang aku hadapi. Aku hanya seorang anak yang mencoba menambatkan diri pada tonggak karang, takut tersapu gelombang. Aku ingin menangis, memanggil ayah yang pergi meninggalkanku tanpa bisa tuk berharap kembali, pergi dalam sebuah kedamaian. Sementara ibu? aku tak akan pernah mau tuk memanggilnya, membiarkannya dalam kebehagiaan semu bersama orang yang dicintainya. Aku ingin menyesali, mengutuki dilahirkan olehnya. Tapi apa daya, ini adalah sebuah takdir yang harus aku hadapi, mencoba realitis.

Malam ini aku merenung, apa yang harus aku lakukan esok. Menapaki rutinitas dikerasnya kehidupan kota, menggantungkan diri pada kekuatan otot sebagai kuli bangunan ketika usiaku 16tahun. Aku hanyalah seorang Eja kecil yang terhempas dari kasih sayang keluarga, tanpa pegangan ayah dan ibu. Ya Tuhan, apa salahku hingga aku terhempas dalam kerasnya dunia.

Masa lalu hanyalah sebuah mimpi indah yang menyakitkan, teringat akan belaian kasih sayang orang tua hanyalah sebuah cara membunuh rasa sakit. Kasih sayang semu hanya kurasakan hingga bangku SD. Ibuku hanya seorang wanita rendahan yang meninggalkan anaknya bersama seorang ayah yang sakit sakitan. Aku tak ingin mengingat masa lalu itu, hanya menambah luka.

Saat ini, aku hanya berfikir untuk bertahan, tetap menghirup nafas dan membuka mata di pagi hari. Melupakan semua ambisi dan cita cita manis seorang anak. Berfikir bagaimana mencari uang untuk makan, minum dan membeli pulsa. Hah,,, lupakan egois anak muda! Aku hanyalah korban dunia.

Mungkinkah esok akan ada pekerjaan lain untukku? Seorang remaja yang terpaksa menjadi kuli bangunan di ibukota jawa timur, selepas lulus SMP? Jika proyek bangunan ini berakhir, kemana aku mencari pekerjaan lain? Ataukah aku pulang kampung ke tempat asalku, menumpang makan dan tidur di rumah bibi? Malu rasanya seolah menjadi benalu.

Ada yang bertanya padaku tentang masa depan, aku hanya tersenyum lugu. Dalam hati jawabanku adalah ketidakpastian, hanya pilu dan luka. Pikiranku hanya sampai pada bagaimana aku bisa mengumpulkan uang, membeli makan, isi pulsa dan bersenang senang untuk diri sendiri. Persetan dengan orang lain, karena aku hidup untuk diriku sendiri.

Tak terasa lamunanku dikejutkan oleh suara perutku yang keroncongan. Lapar, perih, aku belum makan malam ini. Senja telah berganti malam, dan akupun bergegas bangun untuk mengisi perut, menutup lamunan dan khayalanku.

(sebuah kisah nyata seorang anak yang mengalami penderitaan sebagai kuli bangunan. berbahagialah anda yang masih mampu untuk makan malam bersama keluarga, tetap sekolah, dan tertawa riang dalam hari hari anda)